ARTIKEL: ANAK-ANAK SEBAGAI INDIKASI KEGAGALAN SUATU KEBIJAKAN

anak terlantar
anak jalanan


Kehidupan Anak Jalanan.
Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan utamanya di jalanan. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Permasalahan Anak jalanan adalah permasalahan yang sangat rumit, kompleks dan berlapis-lapis.

Data PBB menunjukkan perkiraan populasi anak-anak jalanan di seluruh dunia berjumlah kurang lebih 150 juta anak, dengan jumlah yang terus meningkat. Anak-anak ini berumur dibawah 18 tahun. 40 % dari mereka tidak mempunyai rumah dan 60 % dari mereka bekerja di jalan-jalan untuk menopang hidup keluarga. Mereka tidak dapat bersekolah dan termasuk dalam keadaan yang teramat sulit. Anak-anak ini dapat dengan mudah menjadi objek kekerasan, eksploitasi seksual, ketergantungan obat, dan lain sebagainya.

Menurut hasil laporan pemetaan dan survei yang dilakukan kantor departemen sosial Yogyakarta 1999, terdapat sekitar 1300 anak jalanan yang tersebar di sejumlah wilayah kantung. Definsi anak di sini adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun. Jenis pekerjaan yang dilakukan pun bervariasi, seperti pengamen, penyemir sepatu, pemulung, kernet, pencuci kaca mobil, pekerja seks, pengemis, dan sebagainya. Tetapi semuanya adalah pekerjaan informal dengan upah ala kadarnya, bergantung kepada si pemberi/pemakai jasa. Survei menunjukkan bahwa hampir 70% anak jalanan melakukan pekerjaan sebagai pengamen.

Pemetaan yang dilakukan oleh LSM Indrianati yaitu lembaga pendampingan anakanak jalanan perempuan Yogyakarta pada 2000, menemukan sekitar 85 anak jalanan perempuan yang berhasil mereka jangkau. Kebanyakan dari mereka terdiri dari ABG (anak baru gede) atau remaja yang berusia antara 12 sampai 18 tahun. Sebagian besar sudah putus sekolah dan tidak bekerja. Mereka mengandalkan teman-teman sesama anak jalanan laki-laki atau ‘pacar-pacar' mereka untuk mendapatkan uang dan perlindungan. Ketergantungan ini bukannya tanpa imbalan. Anak-anak perempuan ini pada suatu saat juga harus memberikan semacam imbalan yang oleh Atanasia Diansanti, direktur LSM Indrianati, disebut sebagai ‘counter prestasi'. Dalam hal ini pelayanan seks. Sebagian besar dari anak-anak jalanan perempuan ini aktif atau paling tidak pernah melakukan hubungan seksual. Ketergantungan ini menyebabkan ketidakseimbangan posisi antara anak-anak perempuan itu dengan teman laki-laki atau pacar mereka. Ketidakseimbangan ini pada akhirnya memunculkan bentuk-bentuk kekerasan baik fisik, emosional, maupun seksual. Oleh karena itu, anak jalanan perempuan rentan dalam hal kesehatan reproduksi, kehamilan yang tidak dikehendaki, dan kekerasan. Menurut pengamatan Dian, kerentanan dalam hal kesehatan reproduski ini digambarkan dengan jelas oleh banyaknya anak perempuan yang menderita penyakit menular seksual.

Melihat hal itu, anak jalanan seharusnya diajak untuk meninggalkan jalanan. Tetapi selama ini anak jalanan tidak dapat hilang dan terus ada. Kehidupan anak jalanan ini dapat dilacak mulai perjalanan sejarah kota-kota besar dunia. Yang terrekam awalnya adalah oleh Lord Ashley (1848) memperkirakan terdapat 30,000 anak jalanan di kota London (Del Col dalam Wikipedia, 2009). Tentu jumlah itu apabila dikalkulasi tidak terjadi begitu saja tetapi secara bertahap terjadi. Sehingga dapat dikatakan bahwa, anak jalanan di London terjadi jauh sebelum itu.

Demikian pula tempat dimana anak jalanan itu berada, umumnya anak jalanan terjadi di kota-kota besar atau paling besar di wilayahnya. Sepertinya jurang perekonomian yang terlalu tinggi dan prospek ekonomi mendorong anak jalanan ini mengumpul. Karena menurut sepengetahuan saya tidak ada anak jalanan di pedesaan.

Makalah ini menunjukkan beberapa sudut pandang untuk melihat fenomena anak jalanan yang terjadi di Indonesia dan bahkan di dunia dengan mengacu kepada artikel Urban Livehoods From Children Perspectives: Protecting And Promoting Assets On The Streets Of Dhaka karya Alessandro Conticini.

Apa yang Terjadi?
Anak jalanan dapat hidup dalam setiap kota, setiap zaman, dan setiap generasi. Dan telah terrekam secara ilmiah dari jauh sebelum abad 19. tentu berbagai solusi yang dikemukakan oleh para cendikia dan para pengambil keputusan telah banyak dilakukan. Solusi yang dilakukan itu, pun tentu telah banyak berevolusi dan membuat solusi baru yang lebih tepat. Oleh karena itu, Contichini mencoba menganalisa beberapa aspek dasar penyebab dan diskripsi situasi anak-anak jalanan (dalam hal ini di Dhaka, India). Dengan melakukan ini diharapkan inti permasalahan dapat diketahui untuk mencari solusi yang tepat.

Contichini menganggap bahwa (pengambil) kebijakan terhadap anak-anak jalanan ternyata tidak partisipatif dan hanya terjadi secara sepihak. Tidak adanya diskusi dan kerja sama antara pengambil keputusan, kebijakan, dan objek kebijakan.

“... there are “things” that are important for street-living children, which they actively protect and promote using every means available. These efforts tend to be ignored or underestimated by development practitioners because they are a response to nonconventional logic and suis generis rationality. Policy makers and social workers hardly recognize children’s assets, and wrongly perceive these children as destitute street scavengers.” (hal 70)

lebih lanjut, Conticini menjelaskan bahwa persepsi anak-anak tentang kesejahteraan ternyata tidaklah berpusat pada materi, tetapi kepada keadilan sosial dan keamanan.

“It has been proposed that children’s perception of well-being is influenced more by their social relationships than by material assets. Evidence from a range of sources suggests that this is certainly the case among children in street situations, whose non-material assets – such as feelings of affection and trust among friends – contribute to what Chawla has called the “cultural richness” of street life. These children are extremely careful to distinguish between their material poverty, the richness of their social relationships and the complexities of livelihoods promotion when on the street. They value deeply their sense of independence and personal control. Many of them make sense of their situation through their pride in their coping strategies; others value their social networks, sharing resources, mutuality and the social care that they can gain through interacting with those in similar predicaments” (hal 70)

memang permasalahan utama yang terjadi disini adalah tentang persepsi. Dalam hal ini Conticini terfokus pada persepsi tentang kemiskinan. Bahwa para pengambil kebijakan mempersepsi bahwa permasalahan utama adalah kemiskinan, sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka terfokus kepada penyelesaian secra materi, seperti memberi keahlian kerja, modal kerja, dan lain sebagainya. Tetapi menurut persepsi anak-anak jalanan, uang memang penting tetapi ia tidaklah paling penting.

“Policy makers, social workers and NGOs make provision for what they think these children lack: often, free meals programmes, night shelters, schooling and clothes distribution. But the increasing number of youngsters who prefer to live on the street rather than attend these programmes, the reluctance of many to change their lives, and the despair of many social workers are clear evidence that this approach is, at least, questionable”.(hal 71)

kemudian, persepsi terhadap anak jalanan yang menganggap mereka adalah penyebab kecacatan atau kekurangan masyarakat. Perilaku ini sering didapati oleh anak-anak jalanan yang menyebabkan mereka merasa tidak dibutuhkan, bahkan perilaku ini membuat mereka semakin memberontak. Karena anak-anak jalanan juga manusia dan mereka juga melakukan hal yang baik dan berguna. Apabila diperlakukan sebagaimana mestinya manusia memperlakukan dirinya sendiri, maka anak-anak jalanan akan semakin membantu masyarakat.

“They [mainstream society] call us ’kangali’ (destitute) and they say to us: ‘What are you doing on the street? Go back home, find yourself a good job, don’t dishonour your family’ …. But we are not kangali … we are working for a living and we also do many other good things.” (hal 72)


Permasalahan Utama.
Dari penjelasan diatas, saya dapat mengambil sebuah garis merah tentang permasalahan utama, yaitu persepsi terhadap kemiskinan. Conticini tidak menjelaskan mengapa perbedaan persepsi itu dapat terjadi. ia kemudian terfokus pada kebutuhan anak-anak jalanan menurut anak-anak jalanan itu sendiri. Mengapa saya mengambil persepsi sebagai dasar permasalahan? Karena fokus permasalahan anak jalanan dalam artikel Conticini adalah persepsi terhadap kemiskinan.

Dengan demikian sepertinya suatu persepsi yang sama terhadap kemiskinan harus terjadi terlebih dahulu sebelum pengambilan kebijakan. Untuk menyamakan persepsi, sumber persepsi harus terlebih dahulu pasti, kemudian harus terjadi suatu dialog antara anak jalanan dengan pemerintah sebagai pengambil keputusan. Akan lebih baik apabila dialog ini menghasilkan suatu kebijakan. Sebuah kegiatan partisipatorik atau dengan kata lain musyawarah.

Proses ini memang membutuhkan waktu dan perhatian yang intens. Tetapi apabila dilakukan, maka persamaan persepsi akan kemiskinan akan sama dan persamaan tujuan akan terjadi. kegiatan ini bahkan harus dilakukan tidak hanya sekali tetapi dalam interval waktu tertentu sepanjang perjalanan hidup dalam masyarakat. Sebagai penentu kebijakan, dan sebagai penerima kebijakan hal ini harus dilakukan secara konsisten.

Pertanyaan kemudian berlanjut kepada, apakah sumber persepsi yang tepat untuk disamakan dan dijadikan dasar musyawarah itu? Apakah berdasarkan materi ataukah berdasarkan tata nilai? Conticini tidak menjawab pertanyaan ini karena memang ia tidak merambah kepada tata nilai.

Penutup.
Dapat diambil kesimpulan bahwa, Inti dari permasalahan anak-anak jalanan persamaan persepsi yang bersumber dari moral dan nilai-nilai yang tertanam dalam benak manusia.

Sepanjang perjalanan sejarah manusia, sejak manusia diciptakan sampai sekarang dan yang akan datang, selalu terdapat kaya dan miskin (materi). Dengan demikian, sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi bagaimana orang kaya bisa kaya dan orang miskin bisa miskin. Kesemuanya karena berribu-ribu sebab yang berbeda. Mengapa dalam kebijakan pemerintah orang miskin selalu dianggap tidak baik atau kurang daripada orang kaya? Nilai-nilai bahwa “kaya (materi) itu lebih baik daripada miskin (materi)” telah tertanam kuat, lebih kuat daripada “kaya (Akhlaq) yang lebih baik daripada miskin (Akhlaq)”.

Hal ini lebih khusus kepada para penentu kebijakan ataupun objek kebijakan itu. Bahwa seharusnya kebijakan itu terfokus kepada tata nilai bukan pada tata materi.

Berapa banyak manusia-manusia hebat yang dia tidak kaya (materi)? Berapa banyak pula manusia-manusia bobrok tetapi dia kaya (materi). Dan sebenarnya, pelaku perusakan terhadap alam dan sosial lebih banyak dilakukan oleh orang kaya atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini sedikit membuka wawasan terhadap suatu persepsi.

Para penentu kebijakan (khususnya pemerintah) menentukan kebijakannya berdasarkan persepsinya, dan persepsinya berdasarkan tata nilai yang dianutnya. Sehingga apabila anak-anak jalanan menjadi para pengganggu, maka dapat dikatakan bahwa para penentu kebijakan itu masih memberikan kebijakan yang kurang tepat, sehingga dapat dikatakan bahwa tata nilai yang dianut pun kurang tepat.

Tata nilai ini tentu merupakan tata nilai bersama seluruh masyarakat, tidak terkecuali anak-anak jalanan itu. Tata nilai anak-anak jalanan itu pun seharusnya juga sebagai objek perubahan dari kebijakan, karena beberapa dari mereka memang memilih jalan hidup seperti itu, menganggap kekayaan adalah tujuan utama, menghalalkan segala cara untuk merasa diakui dan lain sebagainya.

Sepertinya dalam benak kita selalu terpaku bahwa uang/materi lebih penting daripada yang lain. Padahal kekayaan dan kemiskinan tidak menjamin manusia itu dapat berkelakuan baik. Oleh sebab itu, mengapa manusia masih ingkar pada petunjuk yang benar akan kehidupan ini? Karena sudah jelas bilamana kita berperilaku jika kaya ataupun miskin. Semua tidak ada bedanya kecuali karena ketaqwaan (perilaku hati).


ANAK-ANAK SEBAGAI INDIKASI KEGAGALAN SUATU KEBIJAKAN
Sebuah Pemahaman Kritis Akan Paper Karya Alessandro Conticini: Urban Livehoods From Children Perspectives: Protecting And Promoting Assets On The Streets Of Dhaka
A. Farid Nazaruddin ST./nim. 0920605002 PPSUB MALANG



Daftar Pustaka.

Conticini, Alessandro. Urban Livehoods From Children Perspectives: Protecting And Promoting Assets On The Streets Of Dhaka. Environment&Urbanization Vol 17 No 2 October 2005.

http://anak2jalanan.blogspot.com/

http://en.wikipedia.org/wiki/Street_children#cite_note-25

http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2007/10/08/AR2007100800252.html?nav=hcmodule

Singh, Dharam. et.all. Street Children of Udaipur: Demographic Profile and Future Prospects. Department of Pediatrics, R.N.T. Medical College, Udaipur Rajasthan, India. 2008

Comments