ARTIKEL: KEBUDAYAAN DAN MITIS

arsitektur candi
arsitektur mewadahi budaya dan mitis


KEBUDAYAAN DAN MITIS

Perkembangan kebudayaan dewasa ini

Manusia dan kebudayaan tidak akan dapat terlepas satu sama lain. Apa yang dapat kita perbuat dengan kebudayaan? Dengan ini diperlukan suatu strategi kebudayaan. Berbagai perubahan terhadap kebudayaan, berbagai fungsi kebudayaan dan berbagai penelitian tentang kebudayaan menuju suatu kebijakan yang harus diperbuat terhadap kebudayaan untuk masterplan masa depan.

Filsafat kebudayaan bukan merupakan tujuan lagi, ia sekarang dapat menjadi alat atau sarana untuk strategi kebudayaan untuk hari depan. Masyarakat modern harus dapat menentukan arah tujuan kebudayaannya.

Dahulu, pendapat tentang hakikat kebudayaan merupakan manifestasi dari kehidupan manusia yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani. Sekarang pendapat itu bergeser menjadi bahwa kebudayaan adalah manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang. Manusia selalu merubah alam. Manusia selalu mengutik-utik lingkungan hidup alamiahnya. Dan itulah yang dinamakan kebudayaan.

Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia. Kebudayaan juga dianggap menjadi lebih dinamis. Ia adalah kata kerja. Bukan alat-alat karya manusia yang dianggap sebagai kebudayaan tetapi proses pembuatannyalah yang dianggap sebagai kebudayaan.

Tidak terkecuali tradisi, norma yang diturunkan. Manusia membuat sesuatu dengan tradisi itu, ia menerimanya, menolaknya dan merubahnya. Kegiatan inilah yang dinamakan kebudayaan. Jadi setiap orang, tidak terbatas pada para ahli pencipta karya, tetapi juga setiap orang dan kelompok orang dapat membentuk sebuah kebudayaan.

Karena kebudayaan merupakan kata kerja, ia tidak akan tamat, maka diperlukan sebuah kebijakan terhadap pengelolaan konsep kebudayaan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Untuk mencapai hal itu, maka manusia harus disadarkan tentang kebudayaan. Dengan demikian diperlukan gambar kebudayaan supaya dapat lebih jelas dimengerti lebih dan kurangnya kebudayaan dan bagaimana cara memperbaikinya.

Manusia selalu menilai sesuatu, dan penilaian manusia dengan manusia yang selalu bertalian (suka atau segan, membenarkan atau ditolak). Penilaian ini oleh Van Peursen disebut dengan “evaluasi”. Perkembangan kebudayaan harus dievaluasi, apabila ada yang tidak beres, maka dapat diperbaiki dan kemudian maju. Immanuel Kant menuliskan bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Kebudayaan seperti sebuah sekolah dimana manusia dapat belajar. Dalam kebudayaan, manusia tidak hanya bertanya bagaimana sifat-sifat tertentu, melainkan pula bagaimana sesuatu seharusnya bersifat.

Kebudayaan berdiri diantara imanensi alam yang berdiri sebagai objek yang diolah dan transendensi evaluasi perkembangan kebudayaan itu sendiri. Manusia termasuk dalam alam dan alam berevolusi, tetapi yang membedakan manusia dengan hewan adalah manusia mengevalusai perbuatan-perbuatannya (norma) dari hal yang bersifat rohani sampai meteriil.

Sehingga, peta kebudayaan yang digunakan sebagai penunjuk jalan perkembangan kebudayaan menurut Peursen terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Kedua, tahap ontologis, sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam mitis melainkan selalu ingin meneliti segala yang ikhwal dan menyusunnya dalam teori dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu. Kemudian tahap fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya. Umumnya ditandai dengan mencari solusi baru untuk masalah lama dan bagaimana sebetulnya kita sedang berusaha menyusun suatu policy baru mengenai kebudayaan kita.

Bukan berarti bahwa tahapan satu dengan yang lainnya itu lebih baik satu dengan yang lain. Setiap tahap tidak lebih tinggi dari tahap-tahap yang lainnya. Tetapi memang terdapat segi-segi negatif seperti, dalam tahap mitis terlihat praktek magi, yaitu usaha mempengaruhi orang lain atau alam dengan ilmu sihir, tahap ontologis substantialisme menjadikan manusia dan nilai-nilai menjadi semacam benda dan memecah substansi benda satu dengan yang lain, sedangkan pada tahap fungsionil operasionalisme bahwa manusia saling memperlakukan diri sebagai bagian dari suatu sistem operasional yang besar sehingga penerimaan akan bahaya dan kenegatifan sistem dianggapnya hanya sebagai efek yang seharusnya terjadi.

Dalam proses kebudayaan, manusia terpengaruh oleh “kekuasaan”. Kekuasaan terdapat dalam alam raya, yaitu yang tidak termasuk dalam pribadi manusia tetapi mempengaruhi manusia. Sejauh mana kekuasaan itu dapat mempengaruhi kita dan sejauh mana kekuasaan itu kita tolak. Kebudayaan seperti pasang surut pengaruh kekuasaan tersebut pada manusia.

Kesadaran manusia akan waktu sebagai kekuasaan yang mempengaruhinya merupakan tingkatan perbedaan pokok manusia dengan hewan yang tinggi. Dari dulu manusia sangat sadar akan pentingnya waktu dan bagaimana kita berhadapan dengannya. Seperti Jaquetta Hawkes mengatakan “kera-kera dapat menjelma sebagai tukang reparasi arloji jika mereka mengembangkan kesadaran tentang waktu”.

Buku Strategie Van De Cultuur oleh Prof. Dr. C. A. van Peursen ini memang bukan petunjuk pasti tentang bagaimana kebudayaan itu seharusnya, tetapi lebih kepada rangsangan-rangsangan diskusi yang dapat membantu manusia agar menjadi lebih sadar mengenai kebudayaannya serta menemukan kaidah-kaidah untuk mencapai suatu strategi kebudayaan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Apakah van Peursen tidak menganggap adanya unsur ketuhanan? Karena apabila mengkaji kebudayaan tetapi tidak mempunyai dasar ketuhanan maka dapat dianggap sebagai ateistis kebudayaan. Apakah van Peursen sengaja tidak mencantumkan unsur ketuhanan pada tulisannya. Tetapi satu hal yang pasti, bahwa definisi kebudayaan menurut van Peursen ini lebih kepada definisi dalam pandangan tidak berketuhanan.

E. K. M. Masinambow memberikan penjelasan yang lebih singkat dan jelas tentang hiruk pikuk persepsi kebudayaan Peursen, meski lebih terhadap teoritis. Ia mengajukan 3 pertanyaan tentang kebudayaan, yaitu:
1. apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu harus dicari pada perilaku atau pada hal-hal yang berada di belakang perilaku itu – di dalam kehidupan intern manusia?
2. apakah yang dimaksud dengan kebudayan itu harus dicari pada benda-benda yang dihasilkan manusia, pada lingkungan biofisik yang dimodifikasi oleh manusia; atau pada hal-hal dalam kehidupan intern manusiayang mendorongnya membuat membuat benda-benda itu atau merubah lingkungnan biofisik itu?
3. apakah yang dimaksud dengan kebudayaan itu harus dicari pada lingkungan alam yang sudah ada, tetapi diberikan “makna tertentu” oleh masyarakat sehingga mempengaruhi perilaku manusia atau pada “makna” yang diberikan itu?

Jawaban pada pertanyaan-pertanyaan itu tergantung pada teori tentang kebudayaan yang dianut. Jika teori itu bersifat mentalistik atau idealistic, dengan sendirinya kebudayaan itu berada di dalam diri manusia. Senaliknya juka teori itu bersifat materialistic atau behavioristik, dengan sendirinya kebudayaan itu adalah keteraturan pada perilaku dan pada artifak, pada pola pembuatan artifak maupun pola penggunaannya.

Jika kebudayaan dianggap sebagai sistem pemberi informasi (tanda) maka sistem itu berfungsi sebagai sarana penataan kehidupan bermasyarakat. Bagi warga suatu masyarakat, pemahaman dari sistem tanda yang berlaku dalam masyarakat itu memungkinkan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan darinya oleh sesama warga masyarakat itu, karena terdapat kesesuaian interpretasi dari tanda-tanda yang digunakan

Dengan demikian van Peursen merupakan penulis tentang kebudayaan dengan kaca mata idealistic atau mentalistik tetapi dengan pemikiran materialistik.

Dr. Galih Widjil Pangarsa memberikan penjelasan tentang kebudayaan dalam pemikiran berketuhanan. Dia mencoba mengartikan kembali makna Cultuur yang merupakan akar kata culture mengolah tanah untuk suatu hasil, kata ini kemudain berkembang untuk pengolahan tanaman, ternah, mikroorganisme, pola karekteristik perilaku masyarakat, sebuah gaya ekspresi artistik atau sisoal yang dimiliki golongan tertentu di dalam aktifitas seni.

Sedangkan budaya berasal dari badaya bertasrif menjadi Al-Mubdi’u, salah satu asma Allah yang berarti yang Maha Mengawali dan Menjadikan segala sesuatu dari tiada. Konsep makna harafiah kata budaya menunjukkan akar kata-kata “budi” (akal-budi, pikiran) dan “daya” (tenaga, kemampuan). Demikian sehingga budaya dapat dimaknai sebagai kemampuan berakal budi dengan nilai-nilai luhur berketuhanan, untuk mengawali hidup dengan suatu proses yang adil, harmonis, selaras dalam kedamai-tentraman yang berbukti pada kesatuan jalinan kehidupan antar makhluk ciptaan Allah.

Dalam konsep ini, sudah ada perbedaan tegas antara baik-buruk, benar-salah, adil-zalim, indah-buruk dan seterusnya.

Alam pikiran mitis

Dunia mitis yang meliputi alam kebudayaan primitif ternyata masih tetapi menarik bagi kita. Banyak para ahli ilmu antropologi kebudayaan meneliti hal ini. Bahkan kemudian menyadari bahwa dunia ini tidak pantas lagi disebut sebagai primitif karena temuan mereka tentang dunia mitis mengandung cerita-cerita dan filosofi yang sangat dalam.

Kebodohan masyarakat jaman romantik dan masyarakat rasional melihat kebudayaan mitis ini harus dihilangkan. Rasa kagum jaman romantik menganggap manusia primitif hanya sebagai manusia purba yang hidupnya masih dekat dengan alam dan yang masih murni, belum tersentuh oleh peradaban dan teknik modern. Dunia mitis dipenuhi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang tidak dapat dijangkau. Padahal masyarakat mitis tersebut telah belajar, mengerti, menghormati, berperang, membunuh, menciptakan teknik, dan lain sebagainya.

Lain lagi sikap rasionalis, yang memandang rendah terhadap kebudayaan mitis. Seolah-olah alam pikiran mitis itu tidak ilmiah dan primitif. Padahal masyarakat mitis hanya berpikir berbeda dengan masyarakat rasionalis. Bukan berarti rasionalis merupakan jawaban dan solusi dari mitis. Bahkan Levy Bruhl menyimpulkan bahwa masyarakat mitis pun rasionalis dalam cara-cara pendekatan pemikiran.

Kebudayaan masyarakat mitis hanyalah merupakan variasi kebudayaan dari berbagai banyaknya kebudayaan yang ada di dunia ini. Kebudayaan satu dengan yang lain tidak lebih tinggi derajatnya. Semuanya sejajar. Ia hanyalah teman seperjalanan kebudayaan yang lain. Hanya saja manusia sering menganggap kebudayaan yang baik adalah kebudayaan dimana media massa sering perlihatkan. Levi Strauss membuka paradigma ini dengan penelitian dan filosofinya tentang kebudayaan. Bahwa masyarakat primitif pun menganggap kekanak-kanakan masyarakat modern yang selalu mempertanyakan suatu penjelasan pasti.

Fungsi mitos

Mitos adalah sebuah cerita yang memberikan arah atau pedoman tertentu kepada sekelompok orang. Fungsi pertama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-kekuatan ajaib. Mitos tidah menjelaskan secara detail kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar manusia dapat menghayati daya-daya itu sebagai sesuatu kekuatan yang menguasai sukunya. Seperti senjata yang dianggap mempunyai ruh dapat meningkatkan daya semangat pejuang pemegang senjata itu.

Fungsi kedua dari mitos adalah ia memberi jaminan bagi masa kini. Seperti keyakinan bahwa keberhasilan masa lampau yang diceritakan dalam mitos dapat menjadi suatu kepastian bahwa ia akan terjadi pada masa kini. Mitos tentang dewa-dewa yang melindungi masa panen, perkawinan, kelahiran, kedewasaan, pembuatan senjata dan lain sebagainya.

Fungsi mitos yang ketiga adalah pengantara antara manusia dan daya-daya kekuatan alam. Dengan kata lain, mitos dapat berfungsi untuk memberikan pengetahuan tentang dunia. Lewat mitos manusia mendapatkan keterangan-penjelasan tentang segala hal yang tidak dapat dijawab oleh manusia primitif.
Demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia mitis dalam kehidupannya di alam ini tidak merasa sebagai penguasa tunggal alam. Ia dilanda oleh perasaan dan daya diluar pemahamannya yang dianggapnya dapat mengatur kehidupan dan alam. Ia terpesona oleh eksistensi dirinya dalam eksistensi alamnya dan sebab mereka eksis. Sehingga mereka pun merasa hormat dan takut akan “keajaiban”. Mereka ekspresikan hal ini pada karya kebudayaan mereka, seperti patung, rumah dan lain sebagainya.

Dapat disimpulkan bahwa inti sikap mitis adalah kehidupan ini ada, ajaib dan berkuasa, penuh daya kekuatan.

Manusia dan dunia

Dalam lingkup hidup mitologis, tiada garis pemisah yang jelas antara manusia dan dunia, antara subjek dan objek. Bahkan manusia belum dapat dikatakan sebagai subjek karena mereka belum mendapatken eksistensi mereka yang bulat. Manusia diresapi oleh pengaruh-pengaruh dari sukunya dan alam raya. Dalam tulisan-tulisan mengenai gejala-gejala ini sering dipakai istilah “ruang sosio-mitis”, yaitu lingkup daya kekuatan yang meliputi manusia dan yang ditentukan oleh pertalian dengan sukunya (sosio-) dan oleh sikapnya yang mitis (-mitis). Baru dalam lingkup ini, manusia tersebut mendapatkan identitasnya, ia baru menjadi seseorang dalam ruang sosio-mitis tersebut.

Sehingga, bisa saja ia kehilangan identitasnya, kemauan hidupnya, kesadarannya, bahkan dunianya karena tidak menjadi bagian dari satu ruang sosio-mitis sukunya. Orang primitif belum mempunyai pengertian mengenai jiwanya sebagai sesuatu yang merupakan miliknya sendiri, dasar identitasnya sebagai seorang manusia yang bersifat pribadi.

Masyarakat mitis percaya dengan adanya jiwa dan bagaimana jiwa itu dapat berada pada berbagai posisi dan tempat yang ada di dunia. Khususnya yang mitos mereka ceritakan. Bagi mereka hanya ada satu dunia organis yang hidup. Batas-batas badan kita tidak berhenti pada kulit badan kita. Manusia dan alam raya saling meresapi dan oleh karena itu kekuatan manusiawi dan ilahi juga saling terlebur.

Nilai-nilai dan norma-norma seolah-olah merupakan polisi lalu lintas yang mengatur masyarakat. Tetapi dalam masyarakat modern, kita menyaksikan hal itu bergeser dengan sangat pesat. Bagaimana berperilaku terhadap alam, bagaimana menghadapi hubungan sosial, semua telah berubah dan akan terus berubah. Dalam masyarakat modern perekonomian menjadi raja dan menentukan kehidupan. Dalam masyarakat mitis tidak, karena semua kegiatan ekonomi dan konsumsi masyarakat telah terlebih dahulu dipermaklumkan oleh mitos. Nilai-nilai itu kemudian mengakar dan sulit dirubah. Alam pikiran mitis tidak mempunyai kiblat historis, sedangkan masyarakat modern sangat terpengaruh pada kesan historis. Mentalitas modern lebih kepada perubahan, kemajuan dan masa depan, sedangkan masyarakat mitis lebih menoleh ke belakang, ke masa silam yang lebih tersambung oleh mitos-mitos.

Magi(c)

Praktek magi (sihir) dalam sudut tertentu dapat disamakan dengan asuransi jiwa pada masyarakat modern. Ia tidak menyelesaikan masalah, hanya meredakan kegelisahan. Berhubungan dengan mitos, magi lebih imanen. Mitos lebih mirip dengan pujaan religius, sedangkan magi lebih condong menguasai sesuatu lewat beberapa kepandaian. Tentu saja magi berkaitan dengan mitos, seperti penggunaan mantera dan alat-alat tertentu yang ditunjukkan terlebih dahulu oleh mitos.

Dalam mitos, manusia ingin mengabdi, dalam magi manusia ingin menguasai. Kecenderungan magi ini dapat menuju ke sikap angkuh, sombong dan egois ingin menguasai alam raya. Demikian pula dalam setiap tahap kebudayaan terdapat dua factor dalam satu kancah daya kekuatan: usaha untuk menyesuaikan diri dalam sebuah rangka yang tepat dan masuk akal antara manusia dan daya-daya kekuatan tersebut, dan usaha-usaha untuk merebut kekuasaan; sikap rendah hati melawan sikap yang angkuh.

Menurut Pangarsa, bumi adalah tempat berkehidupan bersama bagi sesama ciptaan makhluk ciptaan yang selalu bersama dalam kejamak-majemukan. Keadaan chaotic yang dihasilkan suatu masyarakat manusia, mau tidak mau akan nampak sebagai bukti bahwa masyarakat terebut gagal mengambil pelajaran dari kebhinekaan kehidupan bersama diatas bumi yang fitrahnya, terjalin sistemik tepat-terpadu berketunggalikaan dalam kedamaian ini. Bila keterpaduan ruh jasad, immateri-materi atau ghaib nyata dalam dirinya gagal disadari, pasti mustahil menyadari keterpaduan di luar dirinya. Pasti ia akan selalu merusak tatanan dan menjadi manusia perusak.

Comments