ARTIKEL: KONSEP BERMUKIM

Konsep bermukim
Menuju arsitektur figuratif

rumah pohon
bermukim di atas pohon?

“bermukim” berarti bertemu dengan yang lain untuk saling menukar peroduk, ide, dan perasaan, yaitu untuk merasakan hidup sebagai tempat dimana terjadi berbagai kemungkinan (bermukim dalam mode kolektif). Juga berarti menyetujui sesuatu dengan yang lain, seperti nilai-nilai umum (bermukim dalam mode publik). Dan juga berarti menjadi individu dan mempunyai rasa memiliki dunia sendiri (bermukim dalam mode pribadi).
Pemukiman dengan ruang urbannya selalu menjadi tempat dimana terdapat kegiatan bermukim mode kolektif. Bangunan umum atau institusi sebagai tempat dimana bermukim dalam mode publik dilakukan. Dan rumah sebagai wadah bermukim secara pribadi. Bersama, pemukiman, ruang urban, institusi, dan rumah menjadi lingkungan yang penuh.
Bermukim juga berarti menjadi teman akrab dengan tempat yang alami. Orientasi dan identifikasi dilakukan dengan pengaturan ruang dan bentuk, dimana bersama menghasilkan tempat yang nyata.

Tempat dimana kita menyebut pulang adalah tempat yang terpatri dalam hati kita dimana kita merasa paling nyaman. Sebelum melakukan identifikasi tempat, kita melakukan identifikasi diri kita sendiri. Pada saat kita berusaha untuk mengidentifikasi diri kita, kita menggunakan tempat kita untuk referensi. Setiap tempat tertentu adalah bagian dari identitas setiap orang. Selain identitas manusia itu khusus, ia pula umum. Karena tempat yang satu dengan yang lain saling mempengaruhi atau bertipe.
Untuk mengetahui identitas tempat, maka manusia harus membuka pikirannya. Maka tempat menjadi suatu wadah penyatuan berbagai ideologi manusia. Sesuatu yang memberikan mereka identitas bersama dan menjadi pondasi kebersamaan sosial.
Tempat dimana kita pulang belum tentu tempat itu adalah sebuah rumah. Rumah hanya merupakan wadah kepulangan manusia. Manusia mengeluarkan “radiasi kemanusiaan” yang mempengaruhi lingkungannya.
Dalam sebuah rumah, manusia menyebarkan radiasinya yang mengakibatkan rumah itu dapat “bernyanyi”. Radiasi ini adalah hasil dari berkembanya hati dan otak manusia itu. Rumah tidak memberikan perasaan tempat (kepulangan), tetapi manusia lah yang melakukan itu. Tetapi sepertinya terdapat “sesuatu” antara rumah dan lingkungannya.
Rumah bukanlah isolasi yang terpisah dengan lingkungannya, dia adalah wakil dari interaksi harmoni antara interior rumah dan eksterior lingkungan. Terdapat rasa simpati antar rumah-rumah.
Maka, bermukim sepertinya dapat dibagi menjadi dua hal. Secara kuantitatif materialis, dan secara kualitatif eksistensial. Pertama, bermukim adalah mempunyai atap dan batasan fisik yang mewadahi. Kedua, bermukim adalah pengolahan ruang yang memberikan rumah yang dapat berkembang oleh hati dan pikiran. Bermukim secara kualitatif adalah kondisi dasar kemanusiaan.
Ketika kita mengidentifikasi suatu tempat, kita merasa “menjadi” di dunia. Kita telah menemukan “tempat” kita. Untuk itu kita harus punya keterbukaan pikiran dan keterbukaan tempat.

Mengada di dunia
Bermukim menyiratkan usaha penghubungan yang berarti antara manusia dan lingkungannya. Hubungan ini diawali dengan identifikasi, yaitu, rasa memiliki pada tempat tertentu. Manusia mengetahui eksistensinya ketika dia menetap, sepertihalnya manusia mengetahui dirinya pada saat dia tidak menetap (bergerak). Hubungan dialektika ini menjadi inti hubungan spasial dalam arsitektur.
Empat mode bermukim
(1) pemukiman, yang hanya dapat dimengerti dalam hubungannya dengan lingkungan alamnya (hunian alam)
(2) ruang urban, menyatukan keberbedaan yang membuat manusia mengalami kekayaan dari perbedaan dunia (hunian kolektif)
(3) dari berbagai pilihan dan kemungkinan, terdapat kelompok persetujuan. Nilai, norma, kecenderungan, yang sama diwadahi dalam suatu institusi atau bangunan umum. Dalam mode publik (hunian publik)
(4) pilihan juga terdapat kepentingan personal. Hal ini diwakili oleh sebuah rumah dimana ia dapat mempunyai ruang pribadinya (hunian privat)
pemukiman, ruang urmab, institusi, dan rumah merupakan lingkungan secara keseluruhan dimana hunian alam, kolektif, publik dan privat terjadi.
Dua aspek bermukim
Kedua aspek itu adalah identifikasi dan orientasi. Secara umum, identifikasi berarti dapat memaknai pengalaman lingkungan secara “total”. Sedangkan orientasi memaknai hubungan timbal balik dalam lingkungan secara spasial. Kedua hal ini adalah aspek utama bertempat tinggal (bermukim). Kadangkala salah satu darinya lebih kuat pengaruhnya daripada yang lain. Kedua hal ini menjadi pondasi utama dari keempat mode bermukim.
Identifikasi
Identifikasi dapat pula dikatakan mengerti makna hubungan antar “wujud”. “Wujud” berhubungan dengan rasa-perasaan sebagai hasil dari pengalaman. Wujud berhubungan dengan konsep “ada”. Konsep “Ada” coba untuk dijelaskan manusia dalam filosofi fenomenologi.
Dunia ada sebelum manusia merasakannya ada. Sehingga sesuatu mengungkapkan dunia pada manusia. Apakah yang mengungkapkan ini? Heidegger mencoba menjelaskan bahwa “ada” merupakan “pengumpulan dunia”. Dunia adalah perlipatan bumi, langit, manusia dan unsur “ketuhanan”. Ke ada an berhubungan dengan struktur utama dunia. Ke ada an inilah yang membuat dunia muncul dan memberikan maknanya pada manusia (mengkondisikan manusia). Sehingga identifikasi adalah mengerti dunia melalui kemengertian akan ada. Pada saat manusia memilih untuk menetap (bermukim), maka manusia telah memaknai dunia atas pengelompokan sesuatu yang ada.
Manusia dalam berkarya melakukan dua hal sekaligus. Pertama, mengerti kelompok sesuatu yang ada (alami atau buatan manusia), dan kedua, mengolah kelompok sesuatu yang ada itu dengan masih menyimpan dan “menjelaskan” apa yang sudah dimengerti. Seperti sebuah teko dari tanah liat. Teko itu dari bahan-bahan alami dan buatan, menjelaskan fungsinya yang sudah dimengerti manusia sebelum teko itu dibuat. Oleh karena itu, sebelum manusia mengerti apapun, maka yang ada hanyalah “puisi”.
Semakin banyak manusia mengerti maka akan semakin lengkap makna yang didapat. Bermukim selalu berada antara dialektika berjalan dan menetap, langit dan bumi, kelahiran dan kematian, kesenangan dan kesedihan, dan antara dunia dan pengolahannya. Dapat dikatakan secara umum awalnya, dunia ini adalah “rumah” manusia. Bangunan hanyalah cara manusia mengolah dunia sebagai tempat yang dapat ditinggali dengan lebih dimengertinya.
Dengan kata lain, karya arsitektur adalah objek identifikasi manusia karena mereka mewujudkan makna eksistensial dirinya dan dunianya.
Konsep antara dialektika tersebut tidak hanya terpaku pada hubungan kompleks antar sesuatu, juga menghasilkan suatu kesan atau “atmosfer”. Timbal balik hubungan antar satu dengan yang lain terjadi sangat unik dan membentuk pola tersendiri. Sehingga dunia (alam) dan hasil berhuni (karya, hunian dan fungsi kompleks lain) menghasilkan suatu karakter. Beberapa menyebutnya “genius loci”.
Meskipun dunia ini adalah pemberian, dia harus diinterpretasikan untuk dimengerti. Meskipun manusia adalah bagian dari dunia, dia harus mengkelompokkan dan mengadakan rasa kepemilikannya akan sesuatu supaya dapat merasa di “rumah”
Orentasi
Manusia berkegiatan. Dalam berkegiatan, manusia selalu mempunyai tujuan dan cara (jalan) yang diwadahi oleh suatu tempat. Dengan kata lain manusia berkegiatan sesuai lingkungannya. Sehingga lingkungan yang baik memberikan gambaran yang tepat kepada manusia, dan memberikan suatu keamanan yang melindungi manusia dalam melakukan kegiatannya.
Konsep antara dalam orientasi menghasilkan perlunya pemaknaan pusat, lajur, dan wilayah (center, path, domain). Manusia membutuhkan perasaan mengerti akan tiga hal tersebut dalam setiap level kehidupannya disadari atau tidak. Dalam tataran ruang, Ka’bah di Makkah dapat menjadi pusat.
Manusia hidup secara linear. Dalam kegiatan hidupnya dialektika linear selalu mengikuti. Sehingga lajur menjadi manivestasi pertama manusia akan sesuatu. Kontinuitas lajur ini menjadi penting karena dengan mengerti kontinuitasnya, maka manusia akan lebih paham akan orientasinya.
Berbagai “benda-benda” dalam dunia manusia, dikelompokkan supaya dapat lebih dimengerti dan diantisipasi. Manusia melakukan hal itu untuk kelancaran dan keamanannya. Pengelompokan ini dilakukan secara kualitatif (keberagaman kualitatif /atmosfer/ radiasi). Wilayah merupakan penggambaran manusia secara kualitatif untuk mengelompokkan spasialnya.

Manusia dalam posisinya di dunia tidak hanya melakukan identifikasi terhadap makna-makna “ada” dalam sesuatu, tetapi juga orientasi dalam ruang-ruang yang mewadahi mereka. Manusia diam mengidentifikasi, bergerak berorientasi. Pusat, lajur dan wilayah tidak dapat dihitung secara matematis, tetapi dapat dirasakan secara kualitatif. Semua level lingkungan binaan harus mempunyai kualitas ruang yang dapat dimaknai secara tiga hal tersebut.

A Farid Nazaruddin / 0920605002

Comments