ARTIKEL: PENGERTIAN RUANG YANG RELATIF DAN POSTMODERNISME

arsitektur dekonstruksi
postmodernisme arsitektur


PENGERTIAN RUANG YANG RELATIF DAN POSTMODERNISME

PENDAHULUAN

Ruang dalam pengertian matematis dimengerti sebagai keberadaan fisik 3 dimensional, yang dapat diukur secara matematis isinya karena pembungkusnya yang memiliki panjang, lebar dan tinggi. Dalam dunia arsitektur, ruang tidak hanya dipahami dari segi matematisnya saja, namun ruang dapat juga dirasakan, dihayati, dan diselami.
Dalam arsitektur, ruang memiliki jiwa sehingga ruang memepengaruhi keberadaan individu atau manusia yang berada di dalamnya. Ruang merupakan interaksi antara jiwa ruang secara fisik dan metafisik dengan batin manusia yang terlibat dalam eksistensinya. Ruang publik2 dipahami sebagai ruang yang diperuntukkan sebagai sebuah ruang kota yang dapat diakses secara umum dan cuma–cuma oleh masyarakat kota dari berbagai lapisan

RUANG DAN PERLINDUNGAN MENURUT DASAR HIDUP MANUSIA

Perkembangan peradaban manusia di muka bumi mengenal adanya 7 peradaban awal. Menurut Glyn Daniel (Morris,1979) peradaban awal tersebut tumbuh secara simultan, antara lain: Peradaban Sumeria di Mesopotamia Selatan,Mesir di Lembah Sungai Nil, Cina di Sungai Kuning, Maya di Lembah Mexico, Aztec di hutan Guatemala dan Inca di Pantai dan dataran tinggi Peru. Pada periode yang lebih muda muncul peradaban Yunani, Romawi yang diikuti dengan perkembangan peradaban yang pesat di Eropa dan pada akhirnya di Amerika. Manusia pada awal peradaban dengan pola kehidupan, mulai dari “ladang berpindah” sampai “berladang tetap” di alam semesta membutuhkan ruang untuk berlindung karena disadari bahwa tidak semua kegiatannya dapat dilakukan di alam terbuka. Tempat berlindung yang terbentuk pada awalnya sangat sederhana dan terus berkembang makin rumit sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Mulai dari mencari lekukan pada alam (goa) sampai membuat bangunan dalam bentuk yang rumit, penuh dengan simbolsimbol. Bentukan yang tercipta merupakan ekspresi dari imajinasi yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Carsten dan Hugh-Jones, 1995:

“House,body and mind are in continous interaction,the physical structure, furnishing, social conventions and mental images of the house at once enabling, moulding, informing and constraining the activities and ideas which unfold within its bounds”.

Hasil pengolahan tempat berlindung yang dihadirkan menunjukkan tingkat kebudayaan yang dimiliki masyarakat pada saat itu. Kerumitan jenis ruang dan penyelesaian bentuk arsitektur rumah tinggal yang tercipta menumbuhkan perbedaan persepsi yang cukup mendasar dalam memahaminya dan pada akhirnya akan menumbuhkan permasalahan. Hal ini timbul karena adanya perbedaan wacana (discourse) yang digunakan. Sebagai contoh: Fletcher, 1938 menstrukturisasi perkembangan sumber kearsitekturan dengan “tree of architecture”, ada 6 faktor yang mempengaruhi wujud arsitektur antara lain: geografi, geologi, klim, agama, sosial dan sejarah. Secara konseptual hal ini menunjukkan bahwa sebuah wujud arsitektur sangat kontekstual dan akan heterogen sekali, sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Pemahaman atas pluralitas ini memerlukan kearifan dalam melakukan penilaian kebudayaan lain sebab kalau tidak, akan terjadi seperti yang diungkapkan sebuah kelompok ilmuwan Eropa tentang rumah tinggal orang Jepang. Dimana disebutkan, bagimana sebuah keluarga Jepang dapat hidup dalam rumah tinggal di kota yang luasnya hanya 40 M2. Bahkan secara lebih ekstrim luasan tersebut di analogikan dengan “Rabbit Cage”. Sebutan ini makin menambah perbendaharaan sebutan yang telah ada untuk arsitektur rumah tinggal di dunia “Timur” seperti arsitektur primitip, vernakuler dan pra sejarah. Nold Egenter, seorang arsitek dan peneliti arsitektur Jepang di mengungkapkan bagaimana sulitnya arsitek-arsitek “Barat” memahami fenomena rumah tinggal orang Jepang (Timur) yang diakibatkan adanya perbedaan persepsi kebutuhan umum manusia.

Coernelis Van de Ven,1977 secara lebih tajam menyoroti adanya perbedaan yang lebih hakiki dari masalah arsitektur yaitu tentang ruang yang tercipta. Perbedaan pemahaman ruang yang dibedakan secara dikotomis antara “timur” yang diwakili oleh pemikiran Lao Tzu yang diambil dari bukunya Tao The Ching dan “barat” yang diwakili oleh Plato yang terwujud dalam karyanya Timaeus. Lao Tzu menyatukan Being (Yang ada) dan Non-Being (Yang Tidak Ada) yang kontradiktif kedalam suatu konsep yang mendasar dan akan mempengaruhi visi manusia tentang estetika kontemporer yang berkaitan dengan ruang. Yang tidak nyata justru menjadi hakikatnya dan dinyatakan dalam bentuk materi. Kontras yang tajam terhadap paradigma “timur” ditunjukkan oleh Plato yang mengungkapkan bahwa yang benar-benar ada hanyalah yang terlihat dan teraba. Jadi ruang adalah elemen terbatas dalam suatu dunia yang terbatas pula. Ruang menjadi ada karena adanya batas-batas yang jelas. Pengaruh pemikiran Plato terhadap arsitektur barat cukup besar. Dunia Platonik merupakan dunia tiga dimensional, sedangkan pengertian apa pun mengenai ruang dipahami dalam konteks geometri. Geometri dan obyektikvitas menjadi sarana untuk membasmi alienasi manusia terhadap yang tidak kasat mata, dan itu berarti pula ruang universal yang penuh misteri. Hall, 1982 menunjukkan bahwa didalam kebudayaan “barat” dan “timur” juga masih mempunyai perbedaan persepsi tentang ruang yang cukup berarti Dalam penelitiannya tentang Proxemic pada orang Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan Arab menunjukkan bahwa pada konsep penggunaan ruang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar mulai dari pengolahan ruang, persepsi visual dan besaran ruang.

Penggunaan istilah “timur” dan “barat” dalam berbagai konteks apabila direnungkan secara mendalam akan menimbulkan bias dan mengundang banyak pertanyaan. Kalau klasifikasi dibuat berdasarkan geografi maka akan banyak timbul pertanyaan. Mengapa Eropa, Amerika dan Australia disebut “barat”? Lebih ironis lagi Italia juga dipandang sebagai “barat”, padahal sebelah timurnya (Albania, Yunani) dipandang sebagai “timur” dan sebelah baratnya (Tunisia, Algeria dan Marokko) dipandang sebagai “timur”. Siapa yang layak dianggap mewakili masing-masing kelompok? Dan apa yang digunakan sebagai dasar pengelompokannya? Dari fenomena tersebut menunjukkan bahwa klasifikasi “timur” dan “barat” lebih merupakan klasifikasi budaya, sosial atau ekonomi daripada klasifikasi geografis.

BATASAN RUANG MENURUT MASYARAKAT JAWA DAN PERBEDAANNYA DENGAN MASYARAKAT “BARAT”

Berikut penjelasan singkat tentang sebuah ruang menurut masyarakat jawa pada masa kerajaan yaitu Bausastra Djawa yang dimaknakan oleh WJS. Poerwadarminto;
Grija k: omah (h.164)
Omah 1. n grija k dalem ki: jejasan mawa
pajon kang dienggo dedoenoeng oetawa
dianggo kapreloean lijane; 2.n grija k:
padoenoengan, kang didoenoengi; 3 kn wis
gelem manggon (tmr kewan ingon-ingon,
krasan) (h.450)

penjelasan sebuah batasan dari (dalam hal itu) griya (rumah) adalah dibatasi oleh atap. Hal ini senada dengan Joseph Priyotomo dalam bukunya Re-konstruksi Arsitektur Jawa (2008). Masyarakat jawa tradisional jawa sebenarnya tidak menganggap dinding sebagai batasan paling penting terhadap ruang. Batasan tersebut kalah penting daripada batasan yang dinaungi oleh atap (pajon). Sehingga yang disebut dengan ruang adalah tempat yang terlingkupi.

Harry Francis Mallgrave dalam bukunya Architectural Theory 1996 mengumpulkan dan menceritakan tentang bagaimana arsitektur dari vitruvius 25 SM sampai berbagai teori sampai 1870 manyimpulkan bahwa (bagi “barat”) ruang dibatasi oleh dinding dan batasan-batasan yang dapat disentuh. Kate Nesbitt dalam bukunya Theorizing a New Agenda for Architecture: An Anthology of Architectural Theory (1996) menyimpulkan bahwa ruang dibatasi oleh lantai, dinding dan langit-langit.

Bernaung, adalah tindakan yang merupakan usaha untuk menghindarkan diri dari sengatan matahari dan curahan air hujan; bernaung merupakan usaha untuk dapat terhindar dari cuaca dan iklim yang kurang menguntungkan. Untuk Indonesia yang hanya memiliki musim kemarau dan musim penghujan, maka iklim bukanlah sebuah ancaman bagi keselamatan dan hidup manusianya. Iklim di Indonesia tidak mematikan, tidak mendatangkan kematian. Dengan demikian, bernaung tidaklah tindakan untuk menghindarkan dan melarikan diri dari iklim; bernaung membiarkan iklim melakukan tugasnya, sedangkan kita membiarkan diri kita tetap melakukan kontak dengannya. Bernaung juga mengandung pengertian bahwa kita berada di bawah sesuatu; bernaung berarti menempatkan diri di bawah sesuatu; dan bernaung menjadi pernyataan bahwa ada sesuatu yang di atas kita. Sesuatu yang di atas kita menjadi sangat penting dan sangat menentukan bagi tindakan bernaung ini.

Menghadirkan atap, dengan demikian, adalah pernyataan bahwa kita menetapkan pernaungan. Seperti halnya topi lebar yang merupakan penaung dan sekaligus adalah hiasan kepala, kiranya demikian pula halnya dengan atap bangunan. Maksudnya, atap bangunan memiliki peluang untuk dipadankan, diandaikan, dan dinyatakan sebagai topi lebar, sebagai penutup kepala dan sebagai hiasan kepala. Kenyataan di Indonesia di mana masing-masing etnik memiliki rupa dan ragam penutup/hiasan kepala, demikian pula halnya dengan kekayaan ragam bangun dan rupa atap bangunannya.

POSTMODERNISME

Menurut Cambers (1987) post modernisme ditandai dengan pemerataan paradigma “modern” dari masyarakat metropolitan melalui sumber-sumber informasi yang ada. Sehingga dapat dikatakan bahwa postmodernisme adalah perubahan dasar pemikiran yang terjadi dan menggantinya dengan apa yang sering muncul pada media. Sudah bukan rahasia lagi bahwa, budaya “barat” telah mendominasi dan memonopoli media massa dan kebijakan dunia, sehingga secara langsung perubahan kebudayaan “timur” telah terjadi dan bergeser dengan budaya “barat”. Sehingga pemikiran “barat” dapat merubah pemikiran masyarakat “timur”. Tidak terkecuali pemahaman tentang ruang dan arsitektur.

Saat ini, perilaku arsitektur telah menjadi semakin individualistik. Coba kita lihat di sekitar kita, rumah-rumah dengan pagar yang tinggi, bangunan-bangunan yang tidak memperdulikan lingkungannya, penggunaan ornamen dan bentukan arsitektur “barat” tanpa penyesuaian konteks, ruang bersama yang tidak mewadahi kebersamaan, dan lain sebagainya.

PERTANYAAN MENDASAR

Pemahaman tentang ruang yang terjadi di dunia “barat dan “timur” terlah tercampuradukkan dikarenakan sebuah kejadian sosial bernama postmodernisme. Pemahaman ruang dan batasan masyarakat timur yang bermula dari sebuah PAJON, sebuah batasan yang tergantung dengan rasa, menjadi batasan yang dapat terhitung secara MATEMATIS, sesuai pemahaman “barat”. hal ini dapat mengakibatkan penerimaan dan pemakaian sifat-sifat masyarakat “barat” pada masyarakat “timur” yang tentu akan merusak tatanan sosial struktural. Untuk lebih mengerti kebijakan lokal “timur” ini kita harus dapat menggali lebih dalam tentang ruang dan batasannya juga implementasinya pada kehidupan masyarakat. Hal ini dapat menjadi pengingat tentang kebijaksanaan lokal yang kita miliki.

Pertanyaannya kemudian mencuat, bagaimanakah batasan ruang yang mampu diterima manusia di jawa pada khususnya? Bagaimana implementasi rasa dalam memberi suatu batasan pada ruang?

Comments